Here is a collection of places you can buy bitcoin online right now.
Air Mata Rasulullah Menetes Karena Kejadian Ini…
Sambutan Bu Kiki Barkiah Saat Tasmi’ Qur`an Putranya, Bikin Merinding…
Pendelegasian yang Kebablasan
Jika kita melihat konsep pendidikan di negara Indonesia, cita-cita mulia dari proses pendidikan nasional akan lebih sulit dicapai tanpa adanya proses pendidikan di dalam keluarga dan masyarakat.Menurut Undang Undang no 20 tahun 2003 pada pasal 1 ayat 1:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Undaang-Undang no 20 Pasal 1 ayat 11, 12, 13,14, komponen pendidikan terdiri dari:
1. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
2. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
3. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
4. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Banyak kita temui masyarakat Indonesia yang sering mengeluhkan kekurangan sistem pendidikan nasional. Sebagian menilai bahwa sistem pendidikan nasional tidak sampai mampu melahirkan generasi yang memiliki kualitas unggul. Dengan menyimak kutipan undang-undang diatas jelas terlihat bahwa cita-cita pendidikan nasional dapat dicapai dengan adanya peran dari komponen-komponen tersebut. Maka cita-cita pendidikan nasional akan sulit tercapai tanpa adanya pendidikan keluarga dan lingkungan yang baik. Pendidikan keluarga dan masyarakat merupakan peletak dasar proses pendidikan seorang anak. Pendidikan formal di Indonesia tidak dirancang untuk menggarap semua peran tersebut. Justru yang mengherankan adalah adanya pergeseran pemahaman di dalam masyarakat tentang siapa yang seharusnya yang paling utama memikul tanggung jawab pendidikan bagi seorang anak. Pendidikan, kini indentik dengan menyekolahkan. Tidak menyekolahkan anak, kini identik dengan tidak memperhatikan pendidikan anak. Menjalankan pendidikan berbasis keluarga atau home eduction, kini menjadi barang yang cukup langka. Melaksanakan pendidikan dengan metode homeschooling dianggap sebagai pilihan yang sangat “istimewa”.
Jauh sebelum adanya sekolah formal, metode pendidikan berbasis keluarga atau home education adalah metode pendidikan yang telah dijalankan banyak manusia selama berabad-abad. Namun setelah masyarakat mendapat berbagai kemudahan dengan adanya bantuan dari lembaga pendidikan seperti sekolah, kamudahan ini cukup melenakan para orang tua. Pendelegasian proses pendidikan anak menjadi cenderung kebablasan, salah satunya ditandai dengan fenomena sebagai berikut:
1. Bergesernya pemahaman tanggung jawab pengasuhan. Dimana tanggung jawab pengasuhan anak dimaknai sekedar pemenuhan kebutuhan fisik dan penyediaan materi untuk membayar pemenuhan kebutuhan rohani dan akal
2. Adanya pengalihan terhadap tanggung jawab pendidikan dari orang tua ke lembaga pendidikan. Sekolah kini seolah menjadi penanggung jawab utama proses pendidikan anak.
3. Sekolah dianggap mesin pencetak anak sholih dan pintar. Orang tua berharap output yang dihasilkan dengan menyekolahkan anak-anak adalah berupa anak-anak yang sholih dan pintar. Sebagian orang tua bahkan berharap hasil yang instan. Sekolah dianggap tidak memiliki kualitas yang baik jika tidak mempu melahirkan output ini secara instan.
4. Semakin mahalnya harga waktu kebersamaan bersama anak. Orang tua disibukkan oleh pekerjaan seputar mencari nafkah, sementara proses pendidikan diserahkan ke berbagai pihak.
5. Orang tua tidak memiliki bekal ilmu yang cukup untuk melakukan pendidikan di dalam rumah sehingga hubungan yang dibangun dalam suasana pengasuhan tidak mengandung nilai pendidikan.
6. Orang tua tidak memiliki waktu yang cukup untuk membangun ikatan yang kuat dengan anak-anak mereka karena anak-anak telah disibukkan dengan berbagai kegiatan sekolah sejak dini. Bahkan porsi waktu interaksi anak-anak dengan lingkungan sekolah lebih besar dari interaksi dengan lingkungan keluarga. Padahal kebersaman yang bermakna di awal-awal tahun usia anak-anak adalah investasi berharga bagi masa depan mereka.
7. Orang tua tidak menyadari bahwa ada ilmu dasar yang harus dimiliki manusia dalam mengarungi kehidupan sehingga anak-anak kelak dapat hidup secara mandiri dan bermartabat. Ilmu tersebut salah satunya harus dipenuhi melalui pendidikan di dalam keluarga. Sehingga ketika orang tua hanya mengandalkan proses pendidikan formal sebagai satu-satunya proses pendidikan bagi anak, muncul berbagai permasalahan tingkah laku dan pola pikir anak yang berpengaruh kepada tatanan sosial secara umum.
Pendelegasian proses pendidikan yang cenderung kebablasan ternyata menimbulkan berbagai problematika sosial. Sebagian sekolah atau lembaga pendidikan bahkan harus bekerja keras untuk mengambil alih berbagai peran yang seharusnya dilakukan dalam pendidikan keluarga.
Fungsi pendidikan keluarga diantaranya
1. Membangun fondasi kecerdasan spiritual seorang anak
Membangun fondasi kehidupan beragama seorang anak
2. Membangun fondasi kehidupan sosial seorang anak
3. Membangun fondasi kecerdasan emosional anak
4. Membangun fondasi akhlakul karimah
5. Memenuhi kebutuhan akan cinta kasih dan perasaan aman
Sementara fungsi pendidikan sekolah formal secara umum mencakup hal berikut:
Memberikan tambahan pengetahuan serta mengembangkan kecerdasan berfikir anak didik
Melaksanakan spesialisasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran
Melakukan efisiensi dalam proses pendidikan kerena pendidikan dilakukan dalam program yang sistematis dan ditujukkan untuk peserta didik dalam jumlah yang banyak.
Sarana berosialisasi bagi anak yang merupakan proses perkembangan individu menjadi makhluk sosial yang mampu beradaptasi dengan masyarakat.
Proses trasmisi dan konservasi budaya dalam masyarakat
Sarana transisi dari lingkungan rumah ke lingkungan masyarakat yang memberi kesempatan bagi anak untuk berlatih kemandirian dan tanggung jawab sebagai persiapan untuk terjun ke masyarakat.
Oleh karena itu, tugas sekolah kini menjadi sangat berat ketika para orang tua tidak melaksanakan tugasnya dalam melakukan proses pendidikan di dalam keluarga. Bahkan pendelegasian yang kebablasan ini menuntut didirikannya lembaga-lembaga pendidikan yang ditujukkan untuk anak usia sangat dini yang mampu menggantikan peran orang tua dalam melakukan pendidikan keluarga sebagai peletak dasar berbagai hal dalam kehidupan. Ditambah lagi, kegagalan proses pendidikan keluarga yang menimbulkan permasalahan anak-anak dalam tahapan kehidupan selanjutnya, sering kali diselesaikan dengan memasukkan mereka ke dalam pesantren. Pesantren mengalami perubahan fungsi dan peran, kini tidak hanya berperan sebagai sarana mencetak para alim ulama yang faqih dalam urusan agama, namun juga berfungsi sebagai sarana rehabilitasi mental dan akhlak bagi anak-anak yang tidak mendapatkan proses pendidikan dan pengasuhan yang baik. Lalu bagaimanakah kualitas alim ulama masa depan jika bibit-bibit yang diterpa dan dibina di pesantren tidak sepenuhnya berasal dari mereka yang ikhlas berniat mengabdikan diri untuk berdakwah di jalan Allah? Lalu bagimanakah kualitas alim ulama masa depan jika bibit-bibit yang menjalani proses pengkaderan adalah anak-anak yang diserahkan oleh orang tua yang merasa sudah tidak sanggup lagi membimbing dan membina anak-anaknya?
Inilah fenomena yang kini ada dalam masyarakat Indonesia. Bahkan fenomena ini diperparah dengan banyaknya pengasuhan yang diserahkan kepada multimedia seperti televisi, games dan internet. Kini banyak orang tua yang tidak melaksanakan fungsi dan perannya sebagai orang tua. Bahkan diantara mereka ada yang hanya berperan sebagai mesin pencetak uang bagi kebutuhan hidup anak-anak mereka. Interkasi orang tua dengan anak bahkan hampir mirip dengan interaksi manusia dengan mesin ATM, yang hanya akan berkunjung saat sudah membutuhkan uang.
Ayah, ibu mari kita pulang kepangkuan keluarga! Mari kita garap ladang yang menjadi milik kita! Mari kita sirami dan pupuki bibit-bibit yang telah kita tanam agar kelak mereka tumbuh menjadi pohon yang kuat akarnya, sehat tubuhnya serta baik buahnya! Ayah, ibu mari kita pulang kepangkuan keluarga! Penuhi hati mereka dengan cinta dan kasih sayang, bentuk pribadi mereka dengan perhatian dan keteladanan! Bantu mereka untuk menjadi anak-anak yang dapat berbakti kepada kita di dunia dan di akhirat sehingga kelak kita akan dapat memetik hasilnya! Bagaimanakah kita akan mempertanggungjawabkan amanah kita dihadapan Allah jika pendelegasian yang kita lakukan untuk pendidikan anak-anak kita adalah pendelegasian yang kebablasan?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).
CKSMA B-19 Ummi.. Bapak.. Terimakasih Karena Masih Percaya, Padahal….
Begitulah cuplikan isi surat yang Ali tulis di usia 12 tahun pada saat ia tengah berkonsentrasi menghafal quran di sebuah Pesantren. Begitu haru perasaan saya membacanya, karena bagi saya kalimat itu memberi gambaran sebuah penyesalan diri seorang anak yang pernah berbohong pada orang tuanya. Juga memberi gambaran rasa enggan untuk melakukan kebohongan lagi kepada orang tua yang masih terus menerus percaya padanya meski pernah ia bohongi. Kalimat itu juga memberikan gambaran bahwa diantara kita sedang tidak ada penghalang untuk mengakui kesalahan di masa lalu. Entah apa yang terjadi di Pesantren sehingga mendorongnya untuk menuliskan itu pada kami. Hanya doa keberkahan yang dapat kami panjatkan bagi siapapun para guru yang menjadi perantara hidayah anak-anak kami.Ada satu masa saat kami belum bersemangat mencari ilmu pengasuhan anak, kami merespon kebohongan Ali pertama kali dengan tangisan histeris kekecewaan sambil memeluknya dengan erat. Sambil terus mempererat pelukan saya berteriak “kenapa kamu bohong??? kenapa kamu harus bohong sama ummi? Kenapa anak ummi yang sholih harus bohong??” Peristiwa itu adalah kali pertamanya saya marah pada Ali dengan suara meninggi. Saat itu ia berusia 7 tahun. Namun sejak peristiwa itu, kami malah menemukannya berkali-kali takut untuk berkata jujur kepada kami.Lalu saya pun mengingat masa lalu saya. Keadaan seperti apa yang membuat saya memilih berbohong dihadapan orang tua. Saya pun teringat, bahwa semakin keras orang tua saya menentang, semakin takut bagi saya berbuat jujur dihadapan mereka. Sekali saya berbohong, maka saya akan menutup kebohongan dengan kebohongan lain.Kami tidak ingin hal ini terulang pada anak-anak kami. Kami tidak ingin anak-anak memiliki perasaan takut untuk mengakui kesalahan mereka dihadapan kami. Kami tidak ingin anak-anak enggan untuk terbuka dengan keadaan mereka kepada kami. Kami ingin hadir bagi mereka sebagai orang tua yang memahami perasaan mereka, menghargai pendapat mereka, menanti proses kedewasaan mereka, serta menerima kesalahan-kesalahan mereka sebagai bagian dari perjalanan kehidupan mereka.
Kami tidak ingin kemarahan kami dalam hal-hal yang tidak kami sepakati dengan mereka, membuat kami kehilangan kesempatan untuk menggali hikmah dibalik kesalahan dan kegagalan yang dialami anak-anak kami. Karena keberkahan dari sebuah kegagalan adalah bagaimana kegagalan tersebut menjadi cambuk bagi kita untuk semakin lebih baik lagi.
Mencoba menyelami perasaan saya sebagai seorang anak, ternyata hal yang sangat penting yang saya butuhkan dari orang tua adalah rasa percaya. Rasa percaya bahwa sesungguhnya saya tidak berniat buruk meski terkadang saya melakukan kekhilafan. Rasa percaya bahwa saya sedang mencoba untuk menyelesaikan persoalan dengan mandiri meski terkadang banyak salah langkah. Rasa percaya bahwa saya telah berusaha melakukan yang terbaik meski kadang belum sempurna. Rasa percaya bahwa saya terus belajar untuk lebih baik meski saat ini hasilnya belum dapat dilihat orang tua. Rasa percaya bahwa perbedaan- pandangan diantara kami adalah upaya-upaya perbaikan dan bukan bentuk pembangkangan. Rasa percaya dari orang tua memberikan energi tersendiri bagi saya untuk terus bangkit dari kegagalan, mempersembahkan yang terbaik sebagai wujud bakti seorang anak kepada orang tua. Namun jika rasa percaya itu hilang, seringkali keikhlasan amal tergoda dan berubah menjadi pembuktian demi pengakuan. Ketika rasa percaya itu hilang, seringkali muncul keinginan untuk menyembunyikan kekurangan dan perbedaan, bahkan ingin menutupi kesalahan-kesalahan.
Setelah menemukannya berkali-kali ragu untuk berkata jujur kepada kami, saya berusaha untuk tidak fokus pada kebohongannya. Saya berusaha mencari tahu akar masalah yang menyebabkan ia banyak melakukan kekhilafan dan memilih untuk berbohong demi menyembunyikan kesalahannya. Setelah berusaha merumuskan akar masalah yang kami temui saat ia berusia 7 tahun dulu, maka didapatlah sebuah kesimpulan bahwa Ali mengalami ketidakcocokan sekolah dengan metode formal. Bersamaan dengan itu, ia pun mengalami kecemburuan karena berkurangnya perhatian sejak saya memiliki adik-adik barunya.
Satu persatu solusi kami tempuh, perbaikan kami lakukan agar mengurangi hal yang menyebabkannya melakukan sesuatu yang tidak sesuai harapan. Sejak saat itu, meski membutuhkan waktu yang cukup panjang, kami barusaha memperbaiki hubungan kami. Kami berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahan yang membuat ia takut untuk mengakui kesalahan. Kami berusaha untuk fokus memintanya mengupayakan solusi paska terjadi kesalahan, baru kemudian setelah tenang memintanya untuk mengurai sendiri hikmah dibalik kejadian. Setiap kali selesai menggali hikmah saat ia melakukan kesalahan besar, saya selalu mengatakan padanya “ummi percaya kamu bisa lebih baik lagi”.
Setiap mencurigainya berbohong, kami tetap mengundangnya untuk berkata jujur, sambil mengingatkan tentang bagaimana pandangan Allah terhadap kebohongan dan kejujuran. Kami juga meyakinkan dirinya bahwa kejujuran tetap lebih baik meski konsekuansinya terkadang pahit, sementara kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan lain yang membuat keadaan lebih sulit. Kemudian saat ia mengubah perkataannya menjadi sebuah kejujuran, kami memberikan apresiasi atas kejujurannya, lalu fokus memintanya mempertanggungjawabkan kesalahan.
Setelah proses ini kami lalui, perbaikan-perbaikan pun kami temui. Ia lebih terbuka untuk mengatakan hal yang sesungguhnya. Ia pun percaya bahwa kami terus mempercainya dalam menjalani proses pembelajaran sebagai insan manusia. Sehingga kondisinya kini jauh lebih baik. Sejalan dengan itu, komunikasi intim untuk mengetahui perasaan dan pandangannya sebagai seorang anak yang beranjak menjadi baligh sering kami bangun. Alhamdulillah kini Ali lebih memilih untuk mengungkapkan kesalahan dengan penuh kejujuran meski dengan wajah merasa bersalah dan penuh rasa menyesal dibanding memilih berbohong untuk kepentingan sesaat.
Kiki Barkiah
Dari seorang ibu yang mengejar ketertinggalan atas kesalahan-kesalahan di masa lalu
CKSMA B-18 Kalian adalah Kalian dan Masa Depan Kalian adalah Milik Kalian
CKSMA B-17 Ketika Ummi Lupa Menyetting Panggung
CKSMA B-16 Karena Sabar Tak Berarti Tak Berkata “Tidak”
CKSMA B-15 Perhatian! Perhatian! Kurang Perhatian Oh Kurang Perhatian
CKSMA B-14 Selagi Masih Ada Waktu…..
Tiba-tiba saya terkaget, terbangun pukul 11 malam karena deringan telepon rumah. Saya merasa pasti ada berita penting. Saat itu handphone memang mati, dan seseorang yang menelpon ke rumah di malam hari pasti ingin menyampikan pesan penting saat itu juga.
Bapak: “assalamu’alaikum mi tolong bukain pintu!”
Ummi: “wa’alaikumsalam haaaah bukain pintu?”
Bapak: “iya bapak pulang, sekarang diluar”
Saya tidak menduga bapak pulang hanya karena ada libur tahun baru Muharram. Tidak ada rencana pulang ke Bandung karena libur hanya satu hari.
Kejutan pagi hari bagi anak-anak adalah kedatangan sang ayah yang diluar rencana. Lalu bapak seharian mengajak anak melakukan kegiatan kunjungan belajar. Bapak mengajar anak-anak homeschooling dengan berkunjung ke pusat alat peraga iptek. Masya Allah, ternyata bapak tidak hanya menjadi ayah yang dirindukkan anak-anaknya, tetapi bapak adalah ayah yang merindukan anak-anaknya.
Awalnya saya menyangka bahwa kerepotan akibat LDR akan lebih banyak dialami oleh saya dan anak-anak. Kenyataannya justru sebaliknya. Saya tidak terlalu merasakan perbedaan kerepotan yang berarti, karena repot mengurus anak adalah pekerjaan sehari-hari. Justru bapak yang merasa “kerepotan” berpisah dengan anak-anak. Berkali-kali terdengar curahan hati dari beliau bahwa LDR dan hidup di kostan itu terasa sepi.
Ummi: “jadi pak enakkan mana? Tinggal barengan sama Ummi dengan repot ngurus anak-anak, atau istirahat dan tidur nyenyak di kostan sendirian? Hehehe”
Bapak: “enakan di rumah mi sama anak-anak”
Ummi: “walau capek dan repot pak?”
Bapak: “iya mi….. Abis nanti juga anak-anak kalo sudah besar kan akan pergi berpisah, masa sih sekarang mereka masih kecil sudah juga berpisah sama bapak”
Cinta anak oh cinta anak……
Cinta yang selalu menimbulkan kerinduan. Bahkan sang ayah rela berlelah-lelah hanya untuk sebuah waktu berkualitas bersama anak-anak. Mengajak anak-anak kunjungan belajar hampir setiap akhir pekan saat bertemu keluarga itu adalah pekerjaan yang membutuhkan energi besar. Kadang bapak harus berjalan sambil menggendong anak-anak yang kelelahan. Belum lagi sampai rumah, anak-anak masih juga ingin bermain kuda-kudaan dengan sang ayah.
Kami memang tidak pernah tau, seberapa lama lagi sisa waktu yang Allah berikan untuk bercengrama dengan mereka. Kami tidak pernah tau berapa banyak lagi kesempatan yang Allah berikan untuk mendidik dan menanamkan kebaikan bagi mereka. Maka sesibuk apapun kami, selelah apapun kami, kami berkomitmen untuk tetap memiliki interaksi dalam kegiatan positif dan berkualitas bersama anak-anak. Terutama kegiatan dalam rangka mentransfer ilmu yang bermanfaat bagi masa depan mereka. Kami tidak dapat menjamin bahwa warisan dalam bentuk harta bagi anak-anak akan tetap ada dan bermanfaat secara berkah selamanya bagi anak-anak. Tetapi kami yakin bahwa menanamkan keimanan dan membekali mereka dengan ilmu yang bermanfaat akan terus menjaga mereka meski kelak kami telah tiada. Kami sadar bahwa kebersamaan dengan mereka tidak akan lama. Kelak mereka akan pergi satu persatu meraih impiannya. Tetapi kami ingin kebersamaan kami bersama mereka hari ini menjadi bekal hidup dan kenangan kisah yang takkan terlupa selama-lamanya. Mencari dunia tidak pernah akan ada puasnya. Mencari harta dengan banyak meninggalkan keluarga juga tidak akan pernah mencapai batas kecukupannya. Maka selagi ada waktu, selagi ada usia, selagi ada kesempatan untuk bersama, disitulah masa dimana kami menanamkan benih kebaikan dan memperkuat cinta diantara keluarga.
Ya, kami memang keluarga homeschoolers. Hampir sebagian besar transfer ilmu untuk anak-anak hadir melalui pengajaran kami berdua. Pernah terlintas berfikir bahwa bagaimana jika sewaktu-waktu saya dipanggil Allah SWT, bagaimana sekolah anak-anak? Astagfirullah, was-was syeitan sering kali berniat menggelincirkan niat baik seorang hamba. Apalagi yang perlu dikhawatirkan ketika sesuatu telah dititipkan kepada Sebaik-baik Penjaga. Allah pula yang kelak akan mengganti dengan sekian guru terbaik untuk anak-anak saat kami tak lagi mampu mengajar mereka. Tetapi biarlah kami terus berburu pahala menjadi pendidik pertama dan utama sampai batas akhir kami tak lagi mampu melakukannya. Selagi masih ada waktu….. Selagi masih ada waktu….. Tak ingin pahala-pahala yang seharusnya dapat kami miliki diambil oleh pihak-pihak lain yang menggantikan beberapa tugas kami. Selagi masih ada waktu…. Selagi masih ada waktu… Kami ingin terjun sendiri mendidik anak-anak kami meski disela-sela kelelahan kami. Semoga Allah segera mengabulkan doa kami untuk kembali berkumpul dalam satu rumah bersama bapak.
Batujajar Jawa Barat
Dari seorang ibu yang berbahagia memiliki keluarga yang saling merindukan
Kiki Barkiah